Manuskrip Pendidikan Al-Qur’an Harus Dijaga, Berikut Kegiatan Pembinaan Asatidz Badko LPQ Kota Semarang
- Ditulis oleh Editor - Badko LPQ Semarang
SEMARANG (Sigi Jateng) – Peran asatidz harus dapat dirasakan kehadirannya tidak hanya saat memeberikan pengajaran bagi santri namun juga dalam kegiatan diluar pengajaran, seperti pengabdian pada masyarakat, penelitian atau ikut memelihara manuskrip pendidikan Al-Qur’an ala Nusantara.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Badan Koordinasi Lembaga Pendidikan Al-Qur’an (Badko LPQ) Kota Semarang Bahrul Fawaid, MSI, saat memberikan sambutan dalam kegiatan pembinaan asatidz di di kantor sekretariat Jl. Dewi Sartika Timur XIV Rabu (28/12/2022).
Berkaitan dengan topik terakhir, kegiatan Badko LPQ Kota Semarang mengangkat tema “Pendidikan Al-qur’an dalam Manuskrip Nusantara di Kota Semarang”.
“Kita memilih tema ini tentu tidak serta merta namun juga menjaga komitmen pengembangan diri terutama bagi Asatidz dengan mengadakan pembinaan setiap bulan dengan berbagai macam tema yang sudah dibahas,” ujar Bahrul menjelaskan tujuan kegiatan.
Hadir sebagai narasumber kali Ini adalah ketua PCNU Kota Semarang, Dr. Anashom, M. Hum yang menjelaskan tentang upaya digitalisasi terhadap naskah-naskah Walisongo dan keislaman yang menjadi bagian dari koleksi Museum Perkembangan Islam Jawa Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) dan Museum Masjid Agung Demak (MAD) yang merupakan bentuk pengabdian kepada masyarakat berbasis Walisongo.
“Digitalisasi yang telah dilakukan ini berhasil mengalihmediakan sejumlah naskah kuno yang tersimpan di kedua museum tersebut di atas,” ujar Anashom.
Untuk rinciannya, Anashom melanjutkan, naskah dari Museum Perkembangan Islam Jawa MAJT sebanyak 44, dan 22 naskah kuno dari Museum MAD. Naskah-naskah tersebut berasal dari genre yang bermacam-macam, seperti naskah mushaf Al-Qur’an, terjemahan Al-Qur’an, atau pun kitab-kitab keislaman.
Terlebih menurutnya bahwa Kajian yang spesifik dilakukan atas naskah-naskah tersebut menyasar pada sebuah naskah yang tersimpan di Museum MAD yang dinisbatkan kepada Sunan Bonang. Naskah yang diketahui sebagai tafsir Jalallain tersebut menurut catatan kolofon yang ada berasal dari tahun 1000 Hijriyah.
“Berdasar kajian yang telah dilakukan, belum dapat dipastikan kebenaran informasi yang diberikan pada naskah tersebut bahwa penulisnya adalah Sunan Bonang,” tutur Anashom.
“Diperlukan kajian lagi yang lebih mendalam untuk mendapatkan jawaban atas kebenaran klaim tersebut,” imbuh Anashom.
Namun demikian, jelas Anashom, dari tahun penulisan yang diberikan, dapat diketahui setidaknya masa yang cukup awal terhadap penulisan teks tafsir Jalallain, yang hanya berjarak sekitar 89 tahun dari wafatnya penulis teks asli yakni Syaikh Jalal al-Din al-Suyuti.
Hal ini berpengaruh terhadap perkembangan Islam di Nusantara yang cukup mengejutkan mengingat perpindahan teks yang ada cukup cepat. Selain itu, tidak mengejutkan jika teks tafsir Jalallain menjadi teks tafsir yang barangkali paling banyak dikaji di Indonesia mengingat awalnya masa penyalinan yang dilakukan.
“Menindaklanjuti hasil dari upaya digitalisasi yang telah dilakukan, pengkajian terhadap naskah-naskah yang telah didigitalisasi sudah semestinya dilakukan. Sebagai contoh, kajian terhadap validitas nisbat kepenulisan teks tafsir Jalallain yang berasal dari tahun 1000 Hijriyah,” ulasnya.
“Kajian serupa juga sangat mungkin dilakukan terhadap 65 naskah sisanya untuk menggali informasi lebih lanjut,” papar Anashom.
Selain kajian, upaya konservasi dan restorasi terhadap naskah-naskah tersebut juga sudah seharusnya dilakukan.
“Hal ini mengingat tingkat kerusakan naskah yang sudah masuk pada taraf membahayakan atau terancam berbahaya (endangered) bagi keberlangsungannya,” pugkasnya. (Mushonifin)